
BERITABLORA.ID, BLORA – Di jantung kota Blora, tempat lalu lalang kendaraan dan suara kehidupan terus mengalir tanpa jeda, kini berdiri sebuah bangunan yang menyimpan lebih dari sekadar ruang belajar Sekolah Bahasa Blora.
Di Jalan Rajawali nomor 14 Tempelan Blora, tepatnya di samping Timur SMK Negeri 2 Blora—bukan di ujung gang terpencil, tapi tepat di tengah nadi kota—sebuah harapan baru diresmikan, Sekolah Bahasa Cabang Blora kini resmi dibuka.
Minggu pagi, 22 Juni 2025, bukan pagi biasa. Saat matahari naik perlahan di atas atap-atap kota, para tamu mulai berdatangan.
Bupati Blora, Arief Rohman, hadir membawa sesuatu yang tak terlihat tapi terasa: semangat untuk membukakan jendela dunia bagi anak-anak Blora.
“Jadi ini nanti di sekolah bahasa ini ada bahasa Inggris, bahasa Mandarin, Korea sama Jepang.”
“Nah, harapan kami semoga ini bisa berkontribusi untuk peningkatan sumber daya manusia yang ada di Blora ini, agar anak-anak kita punya kemampuan bahasa,” jelasnya.
Nantinya, di Sekolah Bahasa ini peserta didik tak hanya diajari membaca dan menulis, mereka akan dilatih untuk berani berbicara, untuk menyuarakan mimpi, dan suatu saat, untuk diwawancara di negeri asing tanpa gentar.
Sekolah Bahasa ini bukan sekadar tempat les. Ia dirancang untuk mencetak manusia-manusia baru—generasi Blora yang tak lagi dibatasi oleh lidah atau aksen, tapi dipersiapkan untuk menjejak di panggung global.
“Kalau mereka bisa bicara dalam bahasa asing, peluang kerja ke Korea, Jepang, atau kuliah di luar negeri akan terbuka luas,” ujar Arief.
Bahkan Arief mengajak ASN, para pegawai pemerintah daerah, untuk ikut belajar. Karena dunia tak hanya berubah bagi anak muda—ia berubah bagi siapa pun yang mau belajar.
Tak hanya Bupati, hadir pula Yudhi Sancoyo, mantan Bupati Blora, yang menegaskan pentingnya penguasaan bahasa.
“Tukang batu di Jepang bisa dapat 70 juta. Di sini? Mungkin sepersepuluhnya. Perbedaannya cuma satu, bahasa,” ujarnya.
Pernyataan itu tak sekadar data. Ia adalah panggilan untuk berubah.Sekolah Bahasa ini sebenarnya telah hadir sejak 2023, tapi dalam bentuk daring.
Sayangnya, sinyal yang lemah, koneksi terputus, dan keterbatasan perangkat membuat pembelajaran terasa jauh dari ideal.
Maka, tahun 2025 menjadi titik balik. Kelas offline dibuka. Anak-anak datang. Interaksi nyata terjadi. Dan dari sinilah proses itu dimulai.
CEO Sekolah Bahasa, Audy Laksmana, menyebut kelas-kelas kecil menjadi keunggulan mereka.
“Satu kelas hanya delapan orang. Kami ingin mereka tidak hanya mengerti, tapi berani berbicara. Karena bahasa itu bukan hafalan, tapi keberanian,” jelasnya.
Kepala Sekolah Bahasa Cabang Blora, Depa Monica, menambahkan bahwa fasilitas yang tersedia dirancang senyaman mungkin, ber-AC, bersih, hangat.
Untuk siapa? Untuk semua. Anak SD, siswa SMA, mahasiswa, hingga pekerja—semua dipersilakan masuk.
“Kami tak hanya mengajar. Kami juga memantau. Orang tua bisa melihat perkembangan anaknya secara langsung melalui website,” jelas Monica.
Di dunia yang makin transparan, kepercayaan dibangun lewat keterbukaan.Saat ini, kelas Bahasa Inggris dan Korea sudah dibuka. Mandarin dan Jepang menyusul. Tapi lebih dari bahasa, sekolah ini mengajarkan mental: mental untuk tumbuh, untuk keluar dari batas kota kecil, dan menyapa dunia dengan percaya diri.
Mungkin dari luar, bangunan itu tampak biasa. Tapi di dalamnya, sesuatu yang luar biasa sedang tumbuh: mimpi anak-anak Blora yang sedang belajar berbicara—bukan hanya kepada guru mereka, tapi kepada masa depan mereka.
Dan itu semua dimulai dari tengah kota, di sebuah ruang kecil bernama Sekolah Bahasa Cabang Blora.